Menggapai Mimpi dengan Piranti Lunak

SETELAH 15 tahun bekerja sebagai orang upahan di industri perbankan dan otomotif di Jakarta, Tonny Loekito berbulat tekad untuk memulai usaha sendiri. Ia memilih bidang pengembangan piranti lunak (software) komputer dengan mendirikan PT Rent@soft yang berbasis di Semarang, Jawa Tengah.

Dunia ICT (Information and Communication Technology), sering disingkat IT, bukan bidang baru baginya. Pekerjaannya sebelumnya berkaitan dengan IT. Namun tetap saja tidak mudah bagi Tonny untuk menggeluti apalagi meraih sukses cepat di bidang itu.

Korporasi-korporasi besar, kata Tonny, lebih percaya pada para pengembang piranti lunak dari luar negeri. Secara internal, pihaknya juga punya masalah. "Kita tidak tahu best practice bikin software yang sesuai standar internasional," katanya di Yogyakarta awal Desember lalu. Apa yang ia dihadapi sesungguhnya tipikal masalah para pengembang piranti lunak lokal.

Namun ia tak berhenti mencari informasi dan belajar. Suatu saat di tahun 2005 ada kesempatan untuk menjadi binaan dan mitra Microsoft Indonesia. Tonny tertarik lalu mengikuti program ISV (Independent Software Vendor) Empower dan Bina ISV Microsoft di Yogyakarta.

Microsoft memang punya perhatian besar terhadap perkembangan industri IT di negeri ini. Microsoft merangsang, memberi ruang serta memfasilitasi lahirnya inovasi-inovasi baru dari dunia kampus dengan mendirikan Microsoft Innovation Center (MIC) di ITS Surabaya, UGM Yogyakarta, UI Depok dan ITB Bandung. Perusahaan itu juga membina dan mendampingi perusahaan pengembang piranti lunak yang punya developer maksimal 10 orang seperti perusahaan Tonny untuk menghasilkan produk yang sesuai standarisasi internasional serta menjembatani mereka dengan dunia industri.

Upaya itu tentu saja terkait dengan kepentingan Microsoft. "Kita hanya ingin industri IT di Indonesia bisa lebih semarak sehingga keberadaan Microsoft di sini pun bisa untuk jangka waktu yang lama," kata Mona Monika, public relations manager Microsoft Indonesia saat berkunjung ke MIC UGM dan sejumlah mitra Microsoft di Yogyakarta beberapa waktu lalu.

Berkat program ISV Empower Microsoft, Tonny, misalnya, merasa kini bisa bekerja dengan lebih terstruktur. "Kita jadi terbuka wawasan tentang standar internasional software," katanya. Produk piranti lunak dari perusahaannya yang diberi nama rhinotones kemudian mendapat sertifikat standarisasi internasional dari LioNBRIGE, sebuah otoritas sertifikasi internasional untuk software. Bagi Tonny, itu merupakan pencapaian yang luar biasa dan ia pun berharap pasar semakin percaya.

Ia menjelaskan, rhinotones merupakan sistem informasi berbasis WEB terintegrasi yang digunakan untuk melayani operasi-operasi di rumah sakit mulai dari font office hingga back office. Produk itu sejauh ini diterapkan di Rumah Sakit Hosana di Cikarang, Bekasi dan AiBee Hospital di Gunung Guelis Resort, Bogor. Modulnya antara lain medical record electrick, rawat jalan, rawat inap, emergency, klinik, toko obat, logistik. Nilai lebih rhinotones antara lain akses di manapun dan kapanpun dengan menggunakan media apapun, misalnya terestrial, micro wave, air wave; sistem real time dan online (input dari berbagai lokasi dapat dimonitor secara langsung dan online dari kantor pusat); rumah sakit dengan banyak cabang dapat terkoneksi secara online dan juga terkonsilidasi secara real time.

Namun bekal pengetahuan teknis saja tidak cukup. Tonny mengaku secara bisnis, usahanya belum begitu berkembang. Ia masih mengalami kesulitan dalam memasarkan produk yang dihasilkan.

Menurut Adnan Risman, ISV lead dari divisi Developer Platform Evagelist Microsoft Indonesia, pemasaran memang menjadi salah satu persoalan kebanyakan pengembang piranti lunak lokal berskala kecil. Hal itu terjadi karena mereka umumnya orang IT dan tidak cukup punya bekal tentang strategi pemasaran. Untuk membantu mereka, Microsoft meluncurkan program Bina ISV yang bertujuan menjembatani para pengembang piranti lunak skala kecil dengan dunia korporasi.

***
MESKI terseok-seok di pemasaran dan sulit mendapatkan kepercayaan pasar, Tonny optimis, bisnis pengembangan piranti lunak tetap menjanjikan. Ia kini bahkan menjajagi kemungkinan mengembangkan software untuk sistem operasi perbankan. "Tapi untuk itu kami perlu tambah tenaga developor lima orang lagi," katanya. Saat ini perusahannya hanya punya lima developer.

Optimisme terhadap peluang bisnis pengembangan software komputer dikemukakan juga oleh Andri Yadi, presiden direktur sekaligus CEO PT Dycode yang berkantor di Bandung, Jawa Barat. Andri mengatakan, produk-produk software infratruktur yang di pasaran saat ini memang kebanyakan dari luar negeri. "Tetapi software untuk business process kita bisa bersaing," katanya. Dycode yang juga jadi mitra Microsoft fokus pada pengembangan software untuk mendukung proses bisnis perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas serta pelabuhan. Pengguna produk Dycode antara lain PT Krakatau Bandar Samudra, dan PT Mitsubishi Chemical Indonesia.

Optimisme yang sama muncul juga pada Oka Sugandi (23 tahun), mahasiswa ITB Bandung. Berbeda dengan Tonny dan Andri yang mengembangkan software untuk membantu kelancaran proses bisnis sebuah perusahaan, Oka dan 14 orang temannya, semuanya mahasiswa informatika ITB, mengoprek-oprek software untuk menciptakan game. Mereka bermimpi, game hasil karya mereka bisa menjadi salah satu game yang minati pengguna komputer di negeri ini, bahkan di dunia. Jika itu terwujud, mereka bakal sejahtera secara finansial.

Proyek anak-anak muda ini diberi nama Nusantara Online. Dalam brosur promosi dijelaskan, Nusantara Online merupakan sebuah Massively Multiplayer Online Role Playing Game (MMORPG) yang bisa dimainkan ribuan orang secara simultan. Game tersebut mengambil latar kondisi kerajaan di Nusantara pada abad ke 14, saat Kerajaan Majapahit berkuasa. Maka, dalam jagat Nusantara Online orang akan bertualang ke Kota Trowulan serta aneka nama lokasi dan tokoh yang terkait dengan Majapahit. Menurut Oka, selain untuk hiburan game itu juga berfungsi edukasi.

Fitur yang ada antara lain fasilitas chat antara pemain, aneka misi-misi menantang yang harus diselesaikan, berburu monster untuk meningkatkan level dan mendapatkan poin-poin pengalaman, membangun klan untuk menciptakan pertarungan-pertarungan yang lebih menarik melawan musuh kerajaan, senjata-senjata dengan kekuatan yang dapat diupgrade, dan game-game mini di setiap misi.

Untuk mengerjakan proyek itu, mereka mendirikan Sangkuriang Studio. Mereka juga mengembangkan mesin game yang diberi nama ANGEL (Another Game Engine Library).

Semua itu baru mimpi. Game itu belum jadi. Menurut Oka, secara teknis mereka mampu menyelesaikan proyek itu. Namun untuk konten atau isi mereka ragu. Mereka butuh bantuan tenaga ahli lain dan modal. Yang dia maksud konten yaitu masalah alur cerita, ekpsresi tokoh, kostum, dekorasi ruang atau landscape dalam game. Menurut hitungan kasar mereka, proyek itu butuh modal sedikitnya 300.000 dollar AS. Mereka tidak punya uang sebanyak itu. Sejauh ini mereka mengerjakan proyek itu secara keroyokan dan tanpa modal. "Modalnya passion," kata Oka di Bandung awal bulan ini.

Mereka kini rajin ikut program Bina ISV Microsoft. Mudah-mudahan saja mereka menemukan investor sehingga indutri IT di negeri benar-benar tambah semarak.

0 komentar:

Komentar


 

Didamel Ku Asep Moh. Muhsin | Persembahan dari Cianjur Blogger Community (CBC)